Tahun ajaran baru sudah dimulai pekan ini. Masuknya anak baru di sejumlah sekolah membuka lagi kemungkinan terjadinya tindakan
bullying atau pembulian.
Meskipun di beberapa sekolah upaya mengenalkan anak baru ke sekolah dilegalkan dan diawasi melalui kegiatan Masa Orientasi Sekolah (MOS), tidak tertutup kemungkinan terjadi pembulian yang lepas dari kontrol sekolah.
Pembulian bukan hal sepele, bukan juga sekadar dinamika pergaulan anak-anak. Sebab, dari tahun ke tahun jumlah korbannya terus meningkat.
Yayasan Semai Jiwa Amini (Sejiwa), lembaga yang aktif memerangi masalah pembulian, mencatat, pada 2007, ada satu korban jiwa akibat tindak pembulian saat berlangsungnya MOS. Sedangkan pada 2008. ada tiga orang meninggal, dan pada 2009 ada enam anak yang meninggal. Ini belum termasuk angka mereka yang mengalami luka fisik atau mental.
Lain lagi data yang dihimpun World Vision Indonesia. Pada 2008, terjadi 1.626 kasus, tahun 2009 meningkat hingga 1.891 kasus, 891 di antaranya kasus di sekolah. Adapun Komisi Perlindungan Anak Indonesia pada 2009 mencatat ada 98 korban fisik, 108 seksual, dan 176 kasus psikologis, dengan 210 anak meninggal karena kekerasan.
"Ini tindakan yang memang sulit dilacak," kata Diena, Ketua Sejiwa. Peningkatan jumlah kejadian, menurut Diena, bisa jadi karena kesadaran masyarakat lebih tinggi dengan semakin banyaknya liputan media. "Atau bisa jadi karena kondisinya memang lebih parah," kata Diena.
Apalagi pembulian sering kali diawali oleh hal-hal yang dianggap sepele oleh orang tua. Misalnya di sebuah sekolah di Bekasi, seorang anak perempuan bunuh diri akibat terus-menerus diejek karena ayahnya tukang bubur.
Ada lagi di sebuah sekolah Jakarta, seorang remaja perempuan diancam dan diintimidasi oleh kakak kelasnya hanya karena tidak mengenakan kaus dalam.
Di ranah psikologi, masalah pembulian lumayan baru, tepatnya dimulai pada 1970-an. Saat itu psikolog Dan Ulweus meneliti fenomena yang terjadi di sekolah di Norwegia. Setelah itu banyak penelitian yang dilakukan berdasarkan tingginya tingkat bunuh diri yang dipicu pembulian, kata René Veenstra, seorang sosiolog dari University of Groningen, Netherlands.
"Berbagai penelitian membuktikan para pembuli menginginkan penghormatan, status, dan dominasi," kata Veenstra. Berbeda dengan gurauan dalam berteman,
bullying bersifat jangka panjang, tidak diinginkan dan tidak terjadi dalam kerangka sosial yang sama.
"Tapi satu tindakan baru dianggap sebagai pembulian--bukan gurauan antarteman--jika korban tidak suka dengan tindakan tersebut," kata Diena. Adapun yang termasuk pembulian adalah perilaku yang sengaja dilakukan untuk menekan, mengintimidasi, dan menakut-nakuti korbannya untuk menunjukkan kekuatan/kekuasaan pelakunya.
Merunut akar pembulian, Diena menyebut hilangnya nilai-nilai luhur dalam masyarakat yang mengutamakan rasa saling percaya (
trust) dan saling menghormati (
respect). Karena hilangnya nilai luhur ini, yang dominan kemudian adalah ego pada diri pribadi anak.
Ini terjadi karena masih banyak orang tua dan guru yang melakukan
corporal punishment dengan alasan untuk mendisiplinkan. Padahal yang dilakukan sebenarnya adalah bentuk lain dari kekerasan. Misalnya, memukul tangan dengan penggaris, menjambak rambut karena terlalu panjang, dan menyuruh
push up karena terlambat.
"Padahal, dengan cara ini, anak malah imun terhadap kekerasan dan menganggap cara itu adalah yang benar," kata Diena. "Memukul anak cara paling rendah untuk memberitahukan kesalahan anak."
Ada lagi kegiatan ekstrakurikuler yang mengutamakan perasaan elite sebagai kelompok dengan hukuman yang sebenarnya pembulian juga. "Anehnya, ada orang tua yang menganggap ini wajar. Malah bangga karena anaknya bisa memasuki kelompok elite tersebut," kata ibu yang anaknya duduk di bangku kelas XI SMA ini.
Dampaknya, anak yang mengalami kekerasan bisa jadi agresif atau pasif. "Atau bisa sekaligus kedua-duanya. Misalnya di rumah pasif tapi agresif di luar rumah," kata Diena. Televisi dan
video game berisi kekerasan adalah tambahan yang menjadi pencuci otak anak yang efektif dan menjadikan mereka permisif terhadap kekerasan.
"Perlu diingat, anak cenderung menjadi pelaku kekerasan yang lebih keras karena memiliki imajinasi dan kreativitas mengembangkan ide kekerasan yang sudah tertanam di otaknya," kata Diena." Padahal mereka sebenarnya anak-anak yang marah, kecewa, dan bingung bagaimana mengungkapkannya."
Menurut Veenstra, pembuli sebenarnya menginginkan perhatian. Dalam penelitiannya, Veenstra melihat pembuli sangat peduli terhadap kesepakatan dalam kelompok mereka sendiri. Jadi mereka secara strategis mengambil korban dari yang anak-anak yang, mereka tahu, tak akan dibela oleh teman-temannya.
Penelitian Veenstra menyebut, 85 persen kasus pembulian terjadi memang untuk dipertontonkan. Pembuli ingin tindakan mereka diketahui. "Ada kalanya korban terbuli memiliki teman-teman yang membela, tapi biasanya lebih banyak pendukung pembuli," kata Veenstra.
Meski ada beberapa hal yang membuat anak lebih berpotensi menjadi korban, tak ada satu pun hal yang pasti mengapa seorang anak menjadi target pembulian. "Tak ada satu pun alasan yang pasti," kata Young Shin Kim, Profesor di Child Study Center, Yale School of Medicine.
"Satu hari mungkin pembuli hanya tak suka korban menggunakan sesuatu berwarna
pink, atau di hari lain karena korban menggunakan warna biru. Atau karena korban bertubuh jangkung, atau pendek, menggunakan kacamata," kata Kim. "Tapi ada sejumlah anak yang hanya menganggap pembulian sebagai hal yang keren untuk dilakukan."
Meski tidak bisa ditebak, para peneliti menemukan karakter umum dari anak-anak pelaku pembulian. Mereka umumnya adalah anak-anak yang impulsif, dominan secara sosial, suka berkonfrontasi, dan mudah
frustrasi.
Mereka umumnya juga anak-anak yang kurang punya empati, suka mempertanyakan pihak otoritas, suka mencoba-coba melanggar peraturan, mengidolakan kekerasan, dan memiliki kemampuan berbicara untuk membela diri dalam situasi yang sulit. Banyak pendukung pembuli," kata Veenstra.
Tindakan ini akan mengakibatkan lemahnya performa akademis, depresi, serta rendahnya kepercayadirian, dan ini akan berlangsung selama bertahun-tahun. "Padahal, saat anak depresi, 40 juta sel otaknya ikut mati," kata Diena mengingatkan.
Para pembuli juga tak akan pernah menjadi pihak pemenang. Pembuli juga berisiko akan banyak negatif, menjadi pelanggar hukum, pelaku kekerasan, dan mengidap masalah psikologis. Sebuah penelitian pada anak sekolah di Korea menemukan bahwa semua siswa perempuan yang terlibat dalam tindakan ini--baik sebagai pembuli, terbuli, maupun keduanya--berisiko tinggi melakukan bunuh diri.
Penelitian lain membuktikan bahwa anak lelaki yang diidentifikasi sebagai pembuli di sekolah dasar empat kali lebih mungkin melakukan tindakan kriminal saat berusia sekitar 20 tahun.
Sayangnya selama ini penyelesaian di Indonesia belum terkoordinasi dengan baik. Pembuli biasanya dilaporkan ke polisi, dipenjarakan, dan semakin menanamkan bahwa kekerasan itu hal normal dalam pikiran anak.
Tapi cara membela diri paling ampuh bagi korban atau calon korban adalah membekali mereka dengan kemampuan berkomunikasi secara asertif. Menurut Diena, dengan komunikasi asertif, seorang anak kecil yang dibuli oleh temannya yang lebih besar, jika mengatakan "tidak" secara tegas, akan membuat si pembuli sungguh-sungguh mundur.
sumber :
TEMPO Interaktif,